Minggu, 30 Oktober 2016

Lahirnya Undang-Undang Desa, Antara Harapan dan Tantangan



HASBIN HASAN
Ketua BPD Huntu Barat Kec. Bulango Selatan - Kab. Bone Bolango

UNDANG-UNDANG Desa yang prosesnya cukup panjang hampir memakan waktu tujuh tahunan, akhirnya disahkan oleh pemerintah melalui DPR RI. Dengan disahkannya UU ini, Desa sebagai daerah otonom diberi kewenangan penuh untuk mengelola sumber daya. Dengan demikian, hal ini merupakan angin segar bagi pemerintahan dan warga desa.
Pada intinya UU Desa ini berisi kebijakan yang mengatur tata kelola pe­merinta­han desa, baik perangkat desa , masyarakat, maupun pengembangan eko­nomi warga desa serta penguatan sistem informasi desa. Pemerintah desa memiliki kewenangan yang tinggi dalam pengembangan desa dengan dibantu oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang berperan membangun mekanisme checks and balances untuk men­dorong pertanggungjawaban pela­yanan yang lebih baik kepada warga desa.
Dengan pengimplemantasian UU Desa secara baik, untuk ke depan diharapkan kehidupan masyarakat di perdesaan akan mengalami peningkatan ke arah yang lebih maju dan sejahtera. Karena jika UU Desa ini diterapkan dengan sungguh-sungguh, maka akan terjadi pemberdayaan dari unit pemerintahan desa untuk menggerakkan roda pembangunan di tingkat desa. Sehingga urbanisasi warga desa ke kota bisa dicegah, sekurang-kurangnya bisa diminimalisasi. Namun adanya otonomi desa ini harus pula diiringi dengan kesadaran akan pemahaman spirit otonomi bagi seluruh penggerak warga desa dan kemampuan perangkat serta masyarakat dalam memahami tata kelola pemerintahan desa yang baik.
Hal lain yang paling menonjol (signifikan) dalam UU Desa, yakni terkait dengan alokasi dana sebesar 10 % dari APBN untuk setiap desa di seluruh Indonesia yang berjumlah 72.944 desa. Dengan demikian setiap desa diasumsikan akan menerima dana sebesar Rp 1 miliar pertahun. Dengan adanya kebijakan seperti ini, tidak sedikit dari sebagian kalangan yang mengkhawatirkan terjadinya dampak negatif di lapangan yang kontraproduktif dengan apa yang menjadi harapan semula.
Apa yang menjadi keistimewaan Undang-undang Desa tersebut  dan apa pula yang menjadi tantangannya?
Pertama ; Dana Milyaran Rupiah akan masuk ke Desa. Isu yang berkembang bahwa dengan disahkannya Undang-Undang Desa maka tiap Desa akan mendapatkan kucuran dana dari pemerintah pusat melalui APBN lebih kurang 1 Milyar per tahun. Ini bisa kita baca pada pasal 72 ayat (1) mengenai sumber pendapatan desa, dalam huruf d, disebutkan "alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota". Selanjutnya dalam ayat (4) pasal yang sama disebutkan "Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus".
Menurut Priyo Budi Santoso wakil ketua DPR-RI, UU Desa juga mengatur tentang alokasi dana dari pemerintah pusat. "Selama ini kan tidak pernah ada anggaran dari pusat. Jumlahnya sebesar 10 persen dari dana per daerah, wajib diberikan, nggak boleh dicuil sedikitpun. Kira-kira sekitar Rp700 juta untuk tiap desa per tahunnya," ujarnya.
Sementara itu mantan Wakil Ketua Pansus RUU Desa, Budiman Sudjatmiko, menyatakan jumlah 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah  dikurangi Dana Alokasi Khusus harus diberikan ke Desa. "Sepuluh persen bukan diambil dari dana transfer daerah," kata Budiman. Artinya, kata Budiman, dana sekitar Rp104,6 triliun ini dibagi sekitar 72.000 desa. Sehingga total Rp1,4 miliar per tahun per desa. "Tetapi akan disesuaikan geografis, jumlah penduduk, jumlah kemiskinan," ujarnya.
Dana itu, kata Budiman, diajukan desa melalui Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
BPD merupakan badan permusyawaratan di tingkat desa yang turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa. "Mereka bersidang minimal setahun sekali," ujar Budiman.
Kedua ; Penghasilan Kepala Desa. Selain dana milyaran rupiah, keistimewaan berikutnya adalah menyangkut penghasilan tetap Kepala Desa. Menurut Pasal 66 Kepala Desa atau yang disebut lain (Nagari) memperoleh gaji dan penghasilan tetap setiap bulan. Penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa bersumber dari dana perimbangan dalam APBN yang diterima oleh kabupaten/kota ditetapkan oleh APBD. Selain penghasilan tetap yang dimaksud, Kepala Desa dan Perangkat Desa juga memperoleh jaminan kesehatan dan penerimaan lainya yang sah.
Ketiga : Kewenangan Kepala Desa. Selain dua hal sebagaimana tersebut diatas, dalam UU Desa tersebut akan ada pembagian kewenangan tambahan dari pemerintah daerah yang merupakan kewenangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu adanya peluang desa untuk mengatur penerimaan yang merupakan pendapatan desa yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU Desa. Hal ini ditegaskan oleh Bachruddin Nasori, Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Desa (Panja RUU Desa).
 “Jika selama ini, Kepala desa menjadi pesuruh camat, bupati. Tapi hari ini jadi raja dan penentu sendiri, jadi Kepala Desa yang berkuasa penuh mengatur dan membangun desanya," kata Bachruddin Nasori.
Yang jadi pertanyaan, apakah dengan demikian Kepala Desa akan menjadi raja-raja kecil di desa ? Walaupun dengan Undang-Undang Desa ini Kepala Desa mempunyai kewenangan penuh dalam mengatur dan mengelola keuangan sendiri, akan tetapi seorang Kepala Desa tidak boleh menjadi Raja Kecil, ujar Mantan Wakil Ketua Pansus Rancangan Undang-Undang Desa DPR RI, Budiman Sujatmiko.
Dikatakan Budiman, kewenangan dan alokasi dana yang besar yang diamanatkan UU Desa itu, tidak ada satu pasal pun yang mengisyaratkan  monopoli kebijakan Kepala Desa. Bahkan, lanjut Budiman, Kepala Desa akan memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk mempertanggungjawabkan semua kewenangan dan pengelolaan dana yang akan dilakukannya kelak.
Keempat : Masa Jabatan Kepala Desa bertambah. Dengan Undang-Undang Desa yang baru, masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun dan dapat dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut (pasal 39). Demikian juga dengan masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa, mereka bisa menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan, baik secara berturut turut maupun tidak berturut-turut. Hal Ini berbeda dengan Undang-Undang yang berlaku sebelumnya yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 dimana Kepala Desa dan BPD hanya bisa menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan.
Kelima : Penguatan Fungsi Badan Permusyawaratan Desa. Menurut pasal 55 UU Desa yang baru, Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi: a) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; b) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan c) melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Disini ada penambahan fungsi BPD yaitu pada huruf c yaitu melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana dalam pasal 209 disebutkan Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Terkait dengan akan diberlakukannya UU Desa ini ada beberapa tantangan yang harus diantisipasi sejak dini, di antaranya :
Pertama : terkait besarnya dana APBN yang digelontorkan ke desa yang diperkirakan mencapai Rp 1 miliar. Bila dana sebesar itu tidak dikelola dengan baik dan benar, tidak dilakukan dengan transparan dan tidak tepat sasaran, maka akan berpotensi misalokasi dan akan menjadi sarang korupsi di tingkat desa. Anggaran yang diberikan sebesar itu bukannya mensejahterakan warga, malah berpotensi merusak tatanan yang ada melalui korupsi atau ketidakadilan dalam pembagian anggaran.
Kedua : masih lemahnya kemampuan kebanyakan perangkat desa dalam mengelola pemerintahan desa dengan jumlah dana yang cukup besar. Kelemahan itu mulai dari proses perencanaan, monitoring hingga evaluasi. Belum lagi pemahaman kepala desa terkait potensi desa serta memformulasikannya ke dalam kebijakan-kebijakan berupa peraturan daerah, anggaran dan pelayanan dasar.
Ketiga : terkait kesiapan warga berpartisipasi aktif dalam proses perencanaan dan melakukan monitoring terhadap program-program yang dilakukan di desa. Sekalipun tugas dan fungsi perencanaan, monitoring/pengawasan dan evaluasi sebagai checks and balances, oleh UU Desa telah diamanahkan kepada BPD, namun warga desa tetap dituntut untuk lebih aktif memonitor dan memberi masukan kepada pemerintah desa. Untuk itu dibutuhkan pula pemahaman yang baik dari warga atas fungsi dan proses kepemerintahan.
Keempat : terkait sinergitas antara perencanaan desa dengan perencanaan kabupaten. Dari pengalaman melakukan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) selama ini, sulit sekali untuk melakukan perencanaan yang berkesinambungan antara perencanaan desa dengan kabupaten. Padahal sangat dibutuhkan adanya keterpaduan perencanaan agar perencanaan desa yang variatif sesuai dengan karakter, kebutuhan dan kemampuan desa di berbagai wilayah kabupaten tetap memiliki keterpaduan dengan perencanaan di tingkat kabupaten.
Dari berbagai tantangan tersebut di atas, tantangan peningkatan kapasitas pemerintah dan warga desa menjadi yang utama. Hal ini mengingat otonomi sangat erat hubungannya dengan kamampuan dan ragam kapasitas yang dimiliki desa, baik sumber daya dana maupun sumber daya manusia yang memerlukan pendampingan yang serius. Dan seandainya tidak dilakukan pendampingan dengan baik, maka tujuan otonomi desa bukannya menguatkan, akan tetapi sebaliknya justru akan memperlemah sendi-sendi otonomi desa sendiri.
Untuk mengantisipasi adanya pembagian anggaran yang hampir seragam dan merata sekitar Rp 1 miliar dengan kapasitas pengelolaan pemerintah desa yang sangat beragam, memang pemerintah akan mengeluarkan regulasi desentralisasi fiskal yang mengatur besaran anggaran desa berdasarkan kebutuhan serta kemampuan mengelola melalui peraturan pemerintah (PP). Akan tetapi dengan beragamnya karakter desa yang berjumlah lebih dari 72.000 desa, dibutuhkan asistensi teknis (coaching) yang tepat agar alokasi anggaran dapat dioptimalkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan desa tersebut.
Menjelang diberlakukannya UU Desa nanti mesti dibarengi dengan penyiapan kapasitas perangkat desa, masyarakat desa serta regulasi di tingkat desa yang menjadi payung hukumnya agar otonomi desa bisa berjalan dengan baik. Pendampingan oleh fasilitator secara terencana dan bertahap sangat diperlukan dalam pengawalan kapasitas, baik untuk mendampingi perangkat desa maupun masyarakat desa. Perangkat pemerintahan desa seperti Badan Per­musya­waratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan yang lainnya, ke depan harus benar-benar berfungsi dan diberdayakan untuk mendorong transparansi berbagai kebijakan dan akuntabilitas pelayanan publik oleh perangkat desa.
Demikian pula masyarakat desa dengan pusat komunitasnya harus diberdayakan untuk berpartisipasi dalam perencanaan, penganggaran serta mengevaluasi kinerja pemerintah desa. Maka dengan adanya peningkatan kapasitas seluruh pemangku kepentingan di desa, diharapkan akan terjadi perbaikan tata kelola pemerintahan desa sebagaimana yang ditargetkan dengan dibentuknya UU Desa. Semoga UU Desa dapat berjalan dengan lancar.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar