HASBIN HASAN
Ketua BPD Huntu Barat Kec. Bulango Selatan - Kab. Bone Bolango
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ9tjNJ2Fwqb8Wo5o-8T8-lIKsbCG_jbt0VolvG_pB4xqNJGCyip9-mN7wz8gE5KrjyWeHqq0WtbJ7pvnPIP4Uan9IkrJpIWUHUyezuouYoBdpemBduNAMLsq_pUH36C7HVWLvX9wcx9M/s320/Hasbin_Ketua+BPD+Huntu+Barat.jpg)
Pada
intinya UU Desa ini berisi kebijakan yang mengatur tata kelola pemerintahan
desa, baik perangkat desa , masyarakat, maupun pengembangan ekonomi warga desa
serta penguatan sistem informasi desa. Pemerintah desa memiliki kewenangan yang
tinggi dalam pengembangan desa dengan dibantu oleh Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) yang berperan membangun mekanisme checks
and balances untuk mendorong pertanggungjawaban pelayanan yang lebih baik
kepada warga desa.
Dengan
pengimplemantasian UU Desa secara baik, untuk ke depan diharapkan kehidupan
masyarakat di perdesaan akan mengalami peningkatan ke arah yang lebih maju dan
sejahtera. Karena jika UU Desa ini diterapkan dengan sungguh-sungguh, maka akan
terjadi pemberdayaan dari unit pemerintahan desa untuk menggerakkan roda
pembangunan di tingkat desa. Sehingga urbanisasi warga desa ke kota bisa
dicegah, sekurang-kurangnya bisa diminimalisasi. Namun adanya otonomi desa ini
harus pula diiringi dengan kesadaran akan pemahaman spirit otonomi bagi seluruh
penggerak warga desa dan kemampuan perangkat serta masyarakat dalam memahami
tata kelola pemerintahan desa yang baik.
Hal lain
yang paling menonjol (signifikan) dalam UU Desa, yakni terkait dengan alokasi
dana sebesar 10 % dari APBN untuk setiap desa di seluruh Indonesia yang
berjumlah 72.944 desa. Dengan demikian setiap desa diasumsikan akan menerima
dana sebesar Rp 1 miliar pertahun. Dengan adanya kebijakan seperti ini, tidak
sedikit dari sebagian kalangan yang mengkhawatirkan terjadinya dampak negatif
di lapangan yang kontraproduktif dengan apa yang menjadi harapan semula.
Apa yang
menjadi keistimewaan
Undang-undang Desa tersebut dan apa pula
yang menjadi tantangannya?
Pertama ; Dana Milyaran Rupiah akan masuk ke
Desa. Isu yang berkembang bahwa dengan disahkannya Undang-Undang Desa maka tiap
Desa akan mendapatkan kucuran dana dari pemerintah pusat melalui APBN lebih
kurang 1 Milyar per tahun. Ini bisa kita baca pada pasal 72 ayat (1) mengenai
sumber pendapatan desa, dalam huruf d, disebutkan "alokasi dana desa yang
merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota".
Selanjutnya dalam ayat (4) pasal yang sama disebutkan "Alokasi dana Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10 persen dari dana
perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus".
Menurut
Priyo Budi Santoso wakil ketua DPR-RI, UU Desa juga mengatur tentang alokasi
dana dari pemerintah pusat. "Selama ini kan tidak pernah ada anggaran dari
pusat. Jumlahnya sebesar 10 persen dari dana per daerah, wajib diberikan, nggak
boleh dicuil sedikitpun. Kira-kira sekitar Rp700 juta untuk tiap desa per
tahunnya," ujarnya.
Sementara
itu mantan Wakil Ketua Pansus RUU Desa, Budiman Sudjatmiko, menyatakan jumlah
10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah
dikurangi Dana Alokasi Khusus harus diberikan ke Desa. "Sepuluh
persen bukan diambil dari dana transfer daerah," kata Budiman. Artinya, kata
Budiman, dana sekitar Rp104,6 triliun ini dibagi sekitar 72.000 desa. Sehingga
total Rp1,4 miliar per tahun per desa. "Tetapi akan disesuaikan geografis,
jumlah penduduk, jumlah kemiskinan," ujarnya.
Dana
itu, kata Budiman, diajukan desa melalui Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) yang
anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah
dan ditetapkan secara demokratis.
BPD
merupakan badan permusyawaratan di tingkat desa yang turut membahas dan
menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa.
"Mereka bersidang minimal setahun sekali," ujar Budiman.
Kedua ; Penghasilan Kepala Desa. Selain
dana milyaran rupiah, keistimewaan berikutnya adalah menyangkut penghasilan
tetap Kepala Desa. Menurut Pasal 66 Kepala Desa atau yang disebut lain (Nagari)
memperoleh gaji dan penghasilan tetap setiap bulan. Penghasilan tetap kepala
desa dan perangkat desa bersumber dari dana perimbangan dalam APBN yang
diterima oleh kabupaten/kota ditetapkan oleh APBD. Selain penghasilan tetap
yang dimaksud, Kepala Desa dan Perangkat Desa juga memperoleh jaminan kesehatan
dan penerimaan lainya yang sah.
Ketiga : Kewenangan Kepala Desa. Selain dua
hal sebagaimana tersebut diatas, dalam UU Desa tersebut akan ada pembagian
kewenangan tambahan dari pemerintah daerah yang merupakan kewenangan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yaitu adanya peluang desa untuk mengatur penerimaan
yang merupakan pendapatan desa yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU Desa.
Hal ini ditegaskan oleh Bachruddin Nasori, Anggota Panitia Kerja Rancangan
Undang-Undang Desa (Panja RUU Desa).
“Jika selama ini, Kepala desa menjadi pesuruh
camat, bupati. Tapi hari ini jadi raja dan penentu sendiri, jadi Kepala Desa
yang berkuasa penuh mengatur dan membangun desanya," kata Bachruddin
Nasori.
Yang
jadi pertanyaan, apakah dengan demikian Kepala Desa akan menjadi raja-raja
kecil di desa ? Walaupun dengan Undang-Undang Desa ini Kepala Desa mempunyai
kewenangan penuh dalam mengatur dan mengelola keuangan sendiri, akan tetapi
seorang Kepala Desa tidak boleh menjadi Raja Kecil, ujar Mantan Wakil Ketua
Pansus Rancangan Undang-Undang Desa DPR RI, Budiman Sujatmiko.
Dikatakan
Budiman, kewenangan dan alokasi dana yang besar yang diamanatkan UU Desa itu,
tidak ada satu pasal pun yang mengisyaratkan
monopoli kebijakan Kepala Desa. Bahkan, lanjut Budiman, Kepala Desa akan
memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk mempertanggungjawabkan semua
kewenangan dan pengelolaan dana yang akan dilakukannya kelak.
Keempat : Masa Jabatan Kepala Desa bertambah.
Dengan Undang-Undang Desa yang baru, masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun
dan dapat dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara
berturut-turut atau tidak secara berturut-turut (pasal 39). Demikian juga
dengan masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa, mereka bisa menjabat paling
banyak tiga kali masa jabatan, baik secara berturut turut maupun tidak
berturut-turut. Hal Ini berbeda dengan Undang-Undang yang berlaku sebelumnya
yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 dimana Kepala Desa dan BPD hanya bisa menjabat
paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan.
Kelima : Penguatan Fungsi Badan
Permusyawaratan Desa. Menurut pasal 55 UU Desa yang baru, Badan Permusyawaratan
Desa mempunyai fungsi: a) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa
bersama Kepala Desa; b) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c) melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Disini
ada penambahan fungsi BPD yaitu pada huruf c yaitu melakukan pengawasan kinerja
Kepala Desa. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana
dalam pasal 209 disebutkan Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan
peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat.
Terkait dengan akan diberlakukannya UU Desa ini ada
beberapa tantangan yang harus diantisipasi sejak dini, di antaranya :
Pertama :
terkait besarnya dana APBN yang digelontorkan ke desa yang diperkirakan
mencapai Rp 1 miliar. Bila dana sebesar itu tidak dikelola dengan baik dan
benar, tidak dilakukan dengan transparan dan tidak tepat sasaran, maka akan
berpotensi misalokasi dan akan menjadi sarang korupsi di tingkat desa. Anggaran
yang diberikan sebesar itu bukannya mensejahterakan warga, malah berpotensi
merusak tatanan yang ada melalui korupsi atau ketidakadilan dalam pembagian
anggaran.
Kedua : masih
lemahnya kemampuan kebanyakan perangkat desa dalam mengelola pemerintahan desa
dengan jumlah dana yang cukup besar. Kelemahan itu mulai dari proses
perencanaan, monitoring hingga evaluasi. Belum lagi pemahaman kepala desa
terkait potensi desa serta memformulasikannya ke dalam kebijakan-kebijakan
berupa peraturan daerah, anggaran dan pelayanan dasar.
Ketiga :
terkait kesiapan warga berpartisipasi aktif dalam proses perencanaan dan
melakukan monitoring terhadap program-program yang dilakukan di desa. Sekalipun
tugas dan fungsi perencanaan, monitoring/pengawasan dan evaluasi sebagai checks and balances, oleh UU Desa telah
diamanahkan kepada BPD, namun warga desa tetap dituntut untuk lebih aktif
memonitor dan memberi masukan kepada pemerintah desa. Untuk itu dibutuhkan pula
pemahaman yang baik dari warga atas fungsi dan proses kepemerintahan.
Keempat :
terkait sinergitas antara perencanaan desa dengan perencanaan kabupaten. Dari
pengalaman melakukan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) selama
ini, sulit sekali untuk melakukan perencanaan yang berkesinambungan antara
perencanaan desa dengan kabupaten. Padahal sangat dibutuhkan adanya keterpaduan
perencanaan agar perencanaan desa yang variatif sesuai dengan karakter,
kebutuhan dan kemampuan desa di berbagai wilayah kabupaten tetap memiliki
keterpaduan dengan perencanaan di tingkat kabupaten.
Dari berbagai tantangan tersebut di atas, tantangan peningkatan kapasitas pemerintah dan warga desa menjadi yang utama. Hal ini mengingat otonomi sangat erat hubungannya dengan kamampuan dan ragam kapasitas yang dimiliki desa, baik sumber daya dana maupun sumber daya manusia yang memerlukan pendampingan yang serius. Dan seandainya tidak dilakukan pendampingan dengan baik, maka tujuan otonomi desa bukannya menguatkan, akan tetapi sebaliknya justru akan memperlemah sendi-sendi otonomi desa sendiri.
Dari berbagai tantangan tersebut di atas, tantangan peningkatan kapasitas pemerintah dan warga desa menjadi yang utama. Hal ini mengingat otonomi sangat erat hubungannya dengan kamampuan dan ragam kapasitas yang dimiliki desa, baik sumber daya dana maupun sumber daya manusia yang memerlukan pendampingan yang serius. Dan seandainya tidak dilakukan pendampingan dengan baik, maka tujuan otonomi desa bukannya menguatkan, akan tetapi sebaliknya justru akan memperlemah sendi-sendi otonomi desa sendiri.
Untuk
mengantisipasi adanya pembagian anggaran yang hampir seragam dan merata sekitar
Rp 1 miliar dengan kapasitas pengelolaan pemerintah desa yang sangat beragam,
memang pemerintah akan mengeluarkan regulasi desentralisasi fiskal yang
mengatur besaran anggaran desa berdasarkan kebutuhan serta kemampuan mengelola
melalui peraturan pemerintah (PP). Akan tetapi dengan beragamnya karakter desa
yang berjumlah lebih dari 72.000 desa, dibutuhkan asistensi teknis (coaching) yang tepat agar alokasi
anggaran dapat dioptimalkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan desa
tersebut.
Menjelang
diberlakukannya UU Desa nanti mesti dibarengi dengan penyiapan kapasitas
perangkat desa, masyarakat desa serta regulasi di tingkat desa yang menjadi
payung hukumnya agar otonomi desa bisa berjalan dengan baik. Pendampingan oleh
fasilitator secara terencana dan bertahap sangat diperlukan dalam pengawalan
kapasitas, baik untuk mendampingi perangkat desa maupun masyarakat desa.
Perangkat pemerintahan desa seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan yang lainnya, ke depan harus benar-benar
berfungsi dan diberdayakan untuk mendorong transparansi berbagai kebijakan dan
akuntabilitas pelayanan publik oleh perangkat desa.
Demikian
pula masyarakat desa dengan pusat komunitasnya harus diberdayakan untuk
berpartisipasi dalam perencanaan, penganggaran serta mengevaluasi kinerja
pemerintah desa. Maka dengan adanya peningkatan kapasitas seluruh pemangku
kepentingan di desa, diharapkan akan terjadi perbaikan tata kelola pemerintahan
desa sebagaimana yang ditargetkan dengan dibentuknya UU Desa. Semoga UU Desa
dapat berjalan dengan lancar.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar